f

Test Footer 2

Heavy Metal

Minggu, 18 Desember 2011

Selasa, 30 Agustus 2011

Peringatan Nuzulul Qur’an dan Lailatul Muwadda’ah

semua santri putra dan santri putri Pondok pesantren As Salafy Al Asror berkumpul di serambi masjid Al Asror tidak seperti biasanya, hal ini karena pada hari senin, 22 Agustus 2011 diadakan peringatan Nuzulul Qur’an yang dilaksanakan bersamaan dengan lailatul muwadda’ah. Semua santri sangat senang karena mulai besok kegiatan pondok sudah mulai libur bertepatan dengan libur Ramadhan dan Idul Fitri 1432 H.
acara dimulai pada pukul 20.30 WIB setelah pelaksanaan shalat trawih berjama’ah, sebagai MC kang Bagus Kholid Zamzami dan Kang Ahmad Nasrullah. Acara pertama pembukaan, acara yang kedua bacaan ayat suci Al Qur’an yang dibacakan oleh Mbak Azizah mungkin para santri tidak asing dengan mbak Azizah karena sudah sering menjadi Qori’ dalam setiap acara yang dilaksanakan pondok Pesantren. Dilanjutkan dengan sambutan dari Kepala Madrasah Diniyah Salafiyah Al Asror yang disampaikan oleh Ustadz Ahmad Muis, S.Pd, dalam sambutannya beliau menyampaikan kepada santri bahwa seseorang bisa dilihat kelakuannya dari teman bergaulnya. Seorang yang mendekat dengan seorang tukang minyak akan terkena bau wangi sedangkan orang yang mendekat tukang pande besi akan terkena percikan apinya.
Mauidloh hasanah disampaikan oleh Ustadz Imron Haqiqi dalam ceramahnya beliau menjelaskan syaitan menggoda santri (keturunan Adam AS) dengan 7 cara:
a. Menghalanginya dari melakukan ketaatan
b. Menunda amal
c. Membujuk santri tersebut agar tergesa-gesa
d. Membujuk santri agar maumenyempurnakan amalnya dengan menampakkan amal itu di hadapan orang banyak
e. Menghendaki agar santri tersebut tergelincir dalam sikap ujub
f. Membujuk santri agar berbuat riya’
g. Membujuknya agar meninggalkan ibadah
Setelah mauidhoh hasanah dilanjutkan dengan sambutan pengasuh dan doa yang disampaikan oleh Abah Kyai Almamnuhin Kholid, dalam sambutannya beliau berpesan kepada para santri untuk selalu menjaga haliyah santri seperti yang dilakukan di pondok. Beliau juga meminta doa restu semoga dalam pembangunan lantai dua pondok putra dapat berjalan lancar tanpa ada halangan suatu apapun.

Kamis, 23 Juni 2011

Pendaftaran Santri Baru

Pondok Pesantren As Salafy Al Asror menerima pendaftaran Santri baru tahun dirosah 2011-2012
syarat pendaftaran:
  1. datang bersama orangtua/ wali
  2. mengisi formulir pendaftaran dan surat pernyataan
  3. foto berwarna (untuk putra berpeci dan putri berjilbab) 2x3 @ 2 lembar dan 3x4 @ 5 lembar
  4. foto copy akta kelahiran/ Kartu Keluarga (KK) 1 lembar
  5. total biaya administrasiputra = 518.000 dan putri= 513.000 meliputi uang gedung, almari, madin, syahriyah 1 bulan dan katring 1 bulan.

Senin, 30 Mei 2011

Pondok Pesantren

  1. Pondok Pesantren Lirboyo
  2. TautanPondok Pesantren Al Asror
  3. Pondok Pesantren Langitan
  4. Pondok Pesantren Tebuireng
  5. Pondok Pesantren Suralaya
  6. Pondok Pesantren Nurul Jadid
  7. Pondok Pesantren Sidogiri
  8. Pondok Pesantren Buntet
  9. Pondok Pesantren Al Munawir Krapyak
  10. Pondok Pesantren Al Anwar Sarang
  11. Pondok Pesantren Al Muayyad
  12. Pondok Pesantren Tremas
  13. Pondok Pesantren Al Hikmah
  14. Yayasan Arwaniyah
  15. Pondok Pesantren Banat Kudus
  16. Pondok Pesantren Ma'ahid
  17. Pondok Pesantren As Salafiyah
  18. Pondok Pesantren Al Haromain
  19. Pondok Pesantren Al Muttaqin Jepara
  20. Pondok Pesantren Roudlotul Mubtadiin Jepara

Syech Ihsan Jampes

KH.Ihsan Jampes adalah putra seorang ulama. Sejak kecil beliau tinggal di lingkungan pesantren. Nama kecil beliau adalah “BAKRI” ayahnya bernam KH. Dahlan. Beliau dilahirkan pada tahun 1901 di desa Jampes Jawa Timur.
Kegemaran syeh Ihsan saat remaja adalah nonton wayang sambil di temani secangkir kopi dan rokok. Dan yang membuat khawatir keluarganya adalah kegemarannya bermain judi. Hingga suatu hari ayahnya yaitu KH.Dahlan mengajaknya berziarah ke makam seorang ulama bernama KH.Yahuda yang juga masih ada hubungan kerabat dengan ayahnya. Disana ayahnya bermunajat kepada Allah supaya putranya bisa sadar dan insyaf. Kemudian ayahnya juga memohon kepada Allah kalau saja putranya masih seperti itu, maka supaya di beri umur pendek agar tidak membawa mudharat bagi semua umat. Selepas ziarah tersebut, suatu malam syeh Ihsan atau sering disebut Bakri itu bermimpi didatangi oleh seorang berwujud kakek tua sedang membawa batu yang sangat besar yang siap di lempar ke kepala syeh Ikhsan sambil berkata “Hai cucuku, kalau engkau tidak menghentikan kebiasaan burukmu yang suka bermain judi, maka aku akan melemparkan batu besar ini ke kepalamu.” Kata kakek tersebut. Kemudian syeh Ihsan menjawab “Apa hubungannya kakek denganku? Mau berhenti atau tidak itu bukan urusan kakek.” Tiba-tiba dengan seketika sang kakek tersebut melempar batu itu ke arah syeh Ihsan hingga pecah kepalanya. Disaat itu juga syeh Ihsan langsung terbangun dari mimpi buruknya dan seraya berucap ”Astaghfirullah…..apa yang sedang terjadi padaku? Ya Allah ampunilah dosaku”. Bisik syeh Ihsan.
Sejak saat itu juga syeh Ihsan menghentikan kebiasaan buruknya dan mulai mencoba menimba ilmu dari satu pesantren ke pesantren lainnya di pulau Jawa. Beliau banyak mengambil restu dan berkah dari para ulama di Jawa, diantaranya seperti: KH.Sholah Darat Semarang, KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Muhammad Kholil Bangkalan Madura.
Cara beliau belajar di pasantren tidak seperti santri pada umumnya, beliau hanya belajar kurang lebih dua bulan. Setelah kitab yang beliau kehendaki khatam, beliau pamit dan meminta restu dari kyainya kemudian pindah ke pesantren lainnya lagi. Begitu seterusnya hingga sekitar tahun 1932 syeh Ihsan mulai menetap dan mengajar. Hari-hari sering beliau gunakan untuk mengajar dan menulis kitab dengan di temani secangkir kopi dan rokok yang menjadi ciri khas beliau.
Begitu banyak karya-karya beliau yang di akui oleh para ulama Nusantara bahkan sampai ke Internasional. Diantara karya-karyanya adalah:
Kitab di bidang ilmu falak yaitu kitab ”Tashrih al Ibaroh” yang merupakan syarah atas kitab ”Natijat al Miqot” karya KH. Ahmad Dahlan Semarang.
Kitab di bidang ilmu fiqih yaitu kitab ”Munajihul Imdad” kitab ini menjadi munaskrib yang tersimpan di perpustakaan Kairo Mesir selama bertahun-tahun.
Kitab ”Irsyadu al Ikhwan fi Bayani al Hukmu al Qohwa wad Dukhon”, kitab ini merupakan kitab yang paling unik diantara kitab-kitab yang lainya. Karena ketika para ulama memperdebatkan hukum rokok dan kopi, beliau malah menjadi penengahnya. Dengan memperbolehkan dan mengharamkan rokok dan kopi dengan alasan-alasan tertentu.
Dan masih banyak lagi.
Pada tanggal 15 September 1952 beliau di panggil oleh Allah.
Demikianlah biografi syeh Ihsan yang tidak pernah belajar di Mekkah tetapi kemampuan bahasa dan ketrampilannya dalam menulis sangat luar biasa. Walaupun namanya tidak pernah muncul di surat kabar maupun televisi seperti ulama-ulama lainnya, namanya akan selalu harum di dalam kitab-kitab yang dikarangnya.
Semoga Allah membalas semua amal perbuatannya sesuai dengan apa yang beliau sumbangkan untuk umat islam semuanya.Amiin……………….

Para Pencari Tuhan

Saat semua insan terbuai mimpi
Dia datang tuk mengabdi
Berucap tasbih tuk agungkan asma Ilahi
Berucap dzikir tuk sucikan diri
Dalam sujudnya
Berjuta harap memenuhi jiwa
Butiran air mata
Iringi seluruh rasa
Penyesalan atas dosa-dosa
Dalam sepinya
Dia lantunkan kalla-kalam agung-Nya
Berharap ridlo-Nya kan selalu ada
Dan pintu taubat
Masih selalu terbuka
By : Nafi’a

Sebuah Persahabatan

Persahabatan itu suci
Yang timbul dari hati ke hati
Bukan untuk menyakiti
Melainkan untuk saling menyayangi
Tapi………
Banyak persahabatan ternoda
Karna banyak menggunakan harta
Banyak orang tersiksa
Karna sahabat yang tak setia
Tapi………
Banyak juga persahabatan yang abadi
Karna sahabat yang menepati janji
Banyak juga pertumpahan darah
Demi membela sahabat yang tak bersalah
By: Mutiara Hati

Garam dan Air



Seorang pemuda yang sedang meratapi nasibnya sore itu, di sebuah telaga kecil ia hampir tak berdaya dengan apa yang dihadapinya, “Oh…malangnya nasibku, sekian lama aku mengaji di pesantren itu, tak paham pula aku mencerna ilmu dari ustadz, imriti tak hafal, nahwu-shorof tak paham, qiroatul kitab….duhh…apa lagi. Benar- benar malang nasibku, aku sering dimarahi ustadz dan diejek teman karena kebodohanku, ya Allah…aku sudah mantap kabur dari pondok. Aku tak sanggup menimba ilmu di sana. Lebih baik, aku berkelana mencari arti hidup ini.” Sambil mengusap tetesan air mata di pipinya, ia masih termenung di telaga itu.
Pemuda itu bernama Syukron, pemuda yang putus asa setelah ia balajar di sebuah pondok pesantren. Ia merasa tak mendapat hasil apa-apa. Ia putus asa, ia sudah berusaha tapi tak bisa. Ia memutuskan kabur dari pesantren itu.
Siang itu semakin terik terasa, punggung Syukron yang terpanggang panas matahari. Ia masih duduk termenung di sebuah telaga kecil itu. Hingga mentari hampir terbenam, ia masih duduk merenung.
Tiba-tiba, datanglah seorang petani tua yang pulang dari sawah, petani tua itu bernama Mbah Aki. Kakek itu melihat seorang pemuda yang termenung dan menangis di telaga itu, kemudian ia pun menghampirinya, “Nang Cah Bagus, apa yang sedang kau lakukan di telaga ini? Tidak baik melamun di tempat sepi seperti ini, bisa kemasukan setan lho!” kata kakek itu kepada Syukron. “Kakek ini siapa? Tak perlu kakek risaukan aku. Kan aku orang yang tidak berguna Kek…” jawab Syukron. “Ah….apa yang kau katakan Nak, kamu ini ada-ada saja,perkenalkan namaku Aki, panggil saja saya dengan Mbah Aki. Namamu siapa Nang cah Bagus?” Tanya Kakek. “Namaku Syukron Mbah Aki,aku benar-benar bodoh Mbah, aku tak hafal Imriti, nahwu-shorof tak paham, qiroatul kitab apa lagi. Kuputuskan kabur dari pondok Mbah..” Syukron menjelaskan kepada Mbah Aki.
Dengan tersenyum, kakek itu mengajak Syukron ke rumahnya, di rumah Mbah Aki, Syukron disuguhi segelas air putih, “Syukron, silakan kau minum air ini!” kata kakek sambil memberikan segelas air putih itu, “Bah….!!!!!” Syukron menyemburkan air gelas itu dari mulutnya. ”Apa yang Mbah berikan kepadaku? Air ini asin sekali!” Gerutu Syukron kepada Mbah Aki. Sambil tersenyum Kakek itu berkata, “Nah, sekarang kau akan ku ajak ke telaga tadi, ayo ikut Mbah”. “Kenapa Mbah kita ke telaga lagi?” Tanya Syukron penasaran. “Sudahlah ikut saja! Kau akan tahu jawabannya nanti”. Jawab Mbah Aki dengan tenang.
Sesampainya di telaga, kakek itu menghanyutkan butiran garam. “Nah, air telaga ini sudah aku beri garam sama dengan garam yang diberikan pada air gelas yang kau minum tadi. Sekarang kau minum air telaga ini Nak.” Pinta Mbah Aki kepada Syukron. Syukron pun meminumnya, “Wah…segar sekali Mbah, tidak asin sama sekali.”
Mbah Aki pun mengajak Syukron duduk di pinggir telaga, “Nang Cah Bagus Syukron, gelas dan telaga tadi adalah hati, jika hatimu sesempit gelas, maka masalah apapun akan terasa berat. Seperti air gelas yang diisi garam, akan sangat terasa asin. Lain halnya jika hatimu seluas telaga ini, maka masalah apapun akan terasa ringan, seperti air telaga yang diberi garam, tak akan terasa asin, malah akan terasa segar. Jadilah kau seorang pemuda yang memiliki hati seluas telaga, agar masalah apapun yang kau hadapi, akan kau hadapi dengan ringan atau tak terasa berat dan tak menyakitkan. Ingat Syukron, Kau masih muda, masih banyak prestasi yang harus Kau raih, masih banyak ilmu yang harus Kau dapat, masih terbentang harapan luas di depanmu, raih semua itu Syukron! Kau harus semangat!!” Jawab Mbah Aki. “Oh…begitu Mbah, kini aku mengerti, aku akan meraih ilmu, meraih prestasi, dan mencari harapan di depanku. Aku akan kembali ke Pesantren Mbah. Aku pasti bisa!!”. Kata Syukron dengan semangat. “Bagus Nak, pulanglah ke pesantren, di sana kau akan mendapat apa yang kau cita-citakan, bersemangatlah Syukron!” Mbah Aki memberi semangat kepada Syukron.
Syukron pun berpamitan dengan Mbah Aki, Ia menuju pesantren dengan semangat baru dan harapan baru. Cerpen lain.



Sajadah Yang tak pernah kering


Keikhlasan cinta


By: Santri SL_3

Jumat, 06 Mei 2011

KEMELUT SANTRI

OH SANTRI..........

Bangun pagi-pagi

Ambil air tuk bersuci

Harus antri ribuan jari

Kau lakukan dengan senang hati

Adzan subuh berkumandang

Tanda sholat telah datang

Iqomat di lantunkan

Mbah Hadi pun datang



Wiridan terlalui

Mengaji ilmu agama dimulai

Asma Allah terdengar merdu

Terasa sejuk menusuk hati

Sejarah syeh Abdul Qodir terdengar

Pikiran mulai tak sadar

Mata pun semakin merapat

Posisi tubu terasa nyaman



Sungguh tak terasa

Jarum jam menunjuk angka tujuh

Sikat dan sapu menunggu

Tapi perut sangat marah

Hingga tak dapat ku mengatasinya

Hanya ada satu obatnya

Lopak tercinta jalan keluarnya



By : rodotz

SYAIR ABU NAWAS ( AL I’TIROF )

Ilaahi lastu lil firdausi ahlaa

Walaa aqwaa ‘alannaaril jahiimi

Fahablii taubatan waghfir dhunuubii

Fainnaka ghaafirudhanbil ‘adhimii

Dhunuubii mitslu a’adaadir rinaali

Fahablii taubatan yaadhal jalaalii

Wa ‘umrii naaqisun fii kulli yaumin

Wadhanbii zaaidun kaifah-timaalii

Ilaahi ‘abdukal ‘aashi aataaka

Muqirran bidh-dhunuubi waqad da’aaka

Fain taghfir fa-anta lidhaaka ahlun

Wa-in tathrud faman narjuu siwaaka



***********



Wahai Allah, Tuhan hamba

Sungguh hamba tiada patut sebagai penghuni surga-Mu

Namun hamba tak kuasa jika berada di api neraka-Mu

Maka perkenankanlah permohonan ampunan hamba dan ampunilah

dosa-dosa hamba

Sesunggunya hanya Engkaulah yang maha pengampun atas segala

dosa-dosa hamba

Dosa hamba bak pasir terhampar tak ternilai banyaknya

Maka sekali lagi, terimalah pertaubatan hamba ini wahai yang maha Agung

Usia hamba berkurang setiap hari

Sedangkan dosa hamba terus bertambah, namun hamba tidak mengetahui

bagaimana mengatasinya

wahai Allah, hamba-Mu yang berkubang maksiat ini tengah m

enghadap kehadirat-Mu

Jika hamba ini medapat karunia ampuan-Mu, maka hamba tergolong

yang Engkau kasihi

Adapun jika Engkau tidak mengabulkan, hamba pun tidak akan

mengharap dari selain Engkau

Fondook

Selasa, 19 April 2011

Syair Tanpo Waton KH Abdurrahman Wahid





Astagfirullah robbal baroya…
Astagfirulloh minal khootooya…
Robbi zidni ‘ilmannaafii’a…
Wawaffikni ‘amalansoliha…

Yarosulalloh salammun’alaik…
Yaarofi’asaaniwaddaaroji…
‘atfatayaji rotall ‘aalami…
Yauhailaljuu diwaalkaromi…2x

Ngawiti ingsun nglara syi’iran
Kelawan muji maring pengeran
Kang paring rohmat lan kenikmatan
Rino wengine tanpo peritungan 2X

Duh bolo konco priyo wanito
Ojo mung ngaji syare’at bloko
Gur pinter ndongeng nulis lan moco
Tembe mburine bakal sangsoro 2X

Akeh kang apal Qur’an haditse
Seneng ngafirke marang liyane
Kafire dewe dak digatekke
Yen isih kotor ati akale 2X

Gampang kabujuk nafsu angkoro
Ing pepaese gebyare ndunyo
Iri lan meri sugihe tonggo
Mulo atine peteng lan nistho 2X

Ayo sedulur jo nglaleake
Wajibe ngaji sak pranatane
Nggo ngandelake iman tauhite
Baguse sangu mulyo matine 2X

Kang aran soleh bagus atine
Kerono mapan seri ngelmune
Laku thoriqot lan ma’rifate
Ugo hakekot manjing rasane 2 X

Alquran qodim wahyu minulyo
Tanpo dinulis biso diwoco
Iku wejangan guru waskito
Den tancepake ing jero dodo 2X

Kumantil ati lan pikiran
Mrasuk ing badan kabeh jeroan
Mu’jizat rosul dadi pedoman
Minongko dalan manjinge iman 2 X

Kelawan Alloh kang moho suci
Kudu rangkulan rino lan wengi
Ditirakati diriyadohi
Dzikir lan suluk jo nganti lali 2X

Uripe ayem rumongso aman
Dununge roso tondo yen iman
Sabar narimo najan pas pasan
Kabeh tinakdir saking pengeran 2X

Kelawan konco dulur lan tonggo
Kang padha rukun ojo ngasiho
Iku sunnahe Rasul kang mulyo
Nabi Muhammad panutan kito 2x

Ayo anglakoni sakabehane
Allah kang bakal ngangkat drajate
Senajan ashor toto dhohire
Ananging mulyo maqom drajate 2X

Lamun palastro ing pungkasane
Ora kesasar roh lan sukmane
Den gadang Allah swargo manggone
Utuh mayite ugo ulese 2X

KH Kholil Bangkalan (Auliyaillah)




SYEIKHUNA KHOLIL Syeih Muhammad Kholil Bin K.H Abdul Latip(1235 Hijriah-1343 Hijriah)Bangkalan Madura Di desa Langgundih, Keramat, Bangkalan, adalah seorang Kiai berbangsa Sayyid bernama Asror bin Abdullah bin Ali Al-Akbar bin Sulaiman Basyaiban. Ibu Sayyid Sulaiman adalah Syarifah Khadijah binti Hasanuddin bin Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Beliau dikenal dengan “Kiai Asror Keramat”, dinisbatkan pada kampung beliau. Kemudian oleh sebagian orang dirubah menjadi “Asror Karomah”, mungkin dalam rangka meng-arab-kan kalimat “Keramat”. Beliau menurunkan ulama-ulama besar Madura dan Jawa. Kiai Asror memiliki putra dan putri. Diantara mereka adalah Kiai Khotim, ayah dari Kiai Nur Hasan pendiri Pesantren Sidogiri Pasuruan. Diantara mereka pula adalah dua orang putri yang sampai kini belum diketahui nama aslinya melalui riwayat yang shahih. Salah seorang dari mereka dinikahkan dengan Kiai Hamim bin Abdul Karim Azmatkhan yang bernasab pada Sunan Kudus (garis laki-laki) dan Sunan Cendana (garis perempuan). Melalui Kiai Abbas, Kiai Asror memiliki cucu bernama Kiai Kaffal. Dan melalui Kiai Hamim, beliau memiliki cucu bernama Kiai Abdul Lathif. Kiai Abdul Lathif memiliki putri bernama Nyai Maryam dan Nyai Sa’diyah. Kemudian Nyai Maryam dinikahkan dengan Kiai Kaffal dan Nyai Sa’diyah dinikahkan dengan seorang Kiai dari Socah, Bangkalan. Kiai Abdul Lathif adalah seorang da’i keliling. Beliau menjalani kehidupan sufi yang tidak menghiraukan hal-hal keduniaan. Apalagi sepeninggal istri beliau, Ummu Maryam (ibu Nyai Maryam), sejak saat itu beliau lebih aktif da’wah ke kampung-kampung, beliaupun jarang pulang ke rumah karena putri-putri beliau telah bersuami dan telah mandiri. Pada suatu hari, setelah beberapa tahun Kiai Abdul Lathif tidak pulang ke rumah, tiba-tiba beliau datang dengan membawa seorang anak laki-laki kira-kira berumur tujuh tahunan. Kiyai Abdul Lathif berkata pada Nyai Maryam: “ Wahai Maryam, Aku telah menikah lagi dan ini adalah adikmu. Kutinggalkan ia bersama kalian, didiklah dia sebagaimana aku mendidikmu.” Setelah itu Kiyai Abdul Lathif pergi lagi sebagaimana biasa. Tidak ada yang tahu kapan persisnya kejadian itu, sebagaimana tidak ada yang tahu kapan persisnya Kiai Kholil di lahirkan. Sebagian sesepuh keturunan Syeh Kholil ada yang memperkirakan bahwa Syeh Kholil lahir pada tahun 1252 H, atau sekitar tahun 1835 M. Cerita ini mengingatkan kita pada cerita Nabi Ibrahim AS. Bagaimana beliau harus meninggalkan Isma’il, putra beliau yang masih bayi, di sebuah lembah yang gersang (Makkah), sementara beliau harus pergi jauh ke Palestina untuk menjalankan tugas da’wah. Siapa yang tidak sedih menyimak cerita ini, seorang ayah yang bersabar meninggalkan
anaknya yang masih kecil, padahal betapa menyenangkannya memeluk, menatap dan bercanda dengan anak seusia Kholil kecil saat itu. Demikian pula dengan Nyai Maryam, sebenarnya beliau sangat sedih ditinggal oleh sang ayah. Di usia ayah yang mulai senja, inginnya hati Nyai Maryam merawat sang ayah, mestinya sang ayah sudah waktunya istirahat. Namun Nyai Maryam sadar, bhwa keluarga mereka adalah keluarga pengabdi pada agama, tidak ada istirahat untuk berda’wah sampai ajalpun tiba, istirahat mereka adalah di peraduan abadi bersama para leluhur mereka. Menurut sebagian riwayat, sejak saat itu Kiai Abdul Lathif tidak pernah pulang lagi, maka hari itu adalah hari terakhir beliau melihat Nyai Maryam dan putra sulung beliau itu. PENDIDIKAN Nyai Maryam bersama sang suami, Kiai Kaffal, mulai merawat dan mendidik Kholil kecil. Mengajarinya membaca Al-qur’an dan ilmu-ilmu dasar agama. Melihat kecerdasan dan bakat Kholil kecil, Kiai Kaffal dan Nyai Maryam berpikir untuk memondokkannya ke sebuah pesantren, agar Kholil kecil dapat menimba ilmu dan terdidik lebih serius. Maka mereka pun memilih pesantren Bunga, Gersik, yang diasuh oleh Kiai Sholeh itu. Tidak beberapa lama kemudian setelah Kholil kecil mondok di Bunga, terjadilah suatu peristiwa yang aneh. Ceritanya, suatu ketika Kiai Sholeh pulang dari kondangan dalam keadaan lapar. Karena sudah waktunya shalat, maka beliaupun meninggalkan bakul “berkat” (makanan oleh-oleh kenduren) diatas sebuah meja dan bermaksud memakannya seusai shalat. Kiai Sholeh kemudian mengimami shalat di musholla pesantren bersama santri-santri beliau. Ketika sedang shalat itu, tiba-tiba ada suara anak-anak tertawa cekikian di belakang Kiai Sholeh. Setelah shalat selesai, Kiai Sholeh bertanya dengan nada marah “Siapa yang tertawa tadi?” Maka berkatalah salah seorang santri: “Ini, Kiai, bocah dari Madura ini yang tertawa.” Setelah selesai dzikir, Kiai Sholeh memanggil bocah Madura yang tidak lain adalah Kholil kecil itu. Kiaipun memerahinya dan memukul kakinya dengan tidak terlalu keras seraya berkata: “Jangan ulangi lagi, ya?! Kalau waktu shalat jangan bergurau!”. Maka Kholil kecilpun berkata: “Tapi, Kiai, saya tidak bergurau, kok. Saya tertawa karena saya melihat Kiai shalat sambil berjoget dan di kepala Kiai ada bakul nasinya.” Mendengar kata-kata Kholil kecil itu, Kiai Sholeh menjadi terkejut dan heran, beliau teringat bahwa ketika sedang shalat tadi beliau memang sedang memikirkan nasi berkat, beliau sempat hawatir karena lupa tidak menitipkan nasi berkat itu, beliau hawatir nasi itu ada yang memakannya, karena beliau sedang sangat lapar dan di rumah beliau tidak ada makanan lagi selain nasi berkat itu. Menyadari hal aneh itu, Kiai Sholeh yakin bahwa Kholil kecil bukanlah anak sembarangan. Keesokan harinya, Kiai Sholeh mengajak beberapa santri pergi ke Bangkalan untuk Menemui Kiai Kaffal. Setibanya di rumah Kiai Kaffal, Kiai Sholeh langsung berbicara mengenai Kholil kecil. “Kiai Kaffal, sebenarnya Kholil ini anak siapa?” Tanya Kiai Sholeh. “Dia anak mertua saya, yaitu Kiai Abdul Lathif. Jadi dia adik ipar saya, saudara istri saya dari lain ibu.” Jawab Kiai Kaffal. “Lalu di mana Kiai Abdul Lathif sekarang?” “Tidak tahu, Kiai, beliau memang jarang pulang, beliau suka keliling ke kampung-kampung untuk berda’wah. Beliau menyerahkan Kholil kepada kami.” “Kiai Kaffal, Kholil itu adalah anak yang luar biasa. Saya rasa, saya kurang pas untuk mendidik dia. Cari saja Kiai lain yang lebih mumpuni dari saya.” Demikianlah inti pembicaran Kiai Sholeh dengan Kiai Kaffal. Maka Kiai Kaffal pun menjemput Kholil kecil dari Bunga. Tidak beberapa lama kemudian Syekh Kholil dimondokkan di Pesantren Cangaan, Bangil, Pasuruan, yang di asuh oleh Kiai Asyik. Beberapa tahun kemudian, Kholilpun sudah menginjak remaja dan ia pindah ke Pesantren Kebon Candi Pasuruan yang diasuh oleh Kiai Arif. Kholil muda belajar dan tinggal di Pesantren Kebon Candi, namun sambil belajar pada Kiai Nur Hasan Sidogiri. Setiap berangkat ke Sidogiri, beliau jalan kaki dari Kebon Candi yang berjarak kurang lebih tujuh kilo meter. Dalam Perjalanan, baik pergi maupun pulangnya, beliau membaca yasin empat puluh kali. Tiga Pesantren itu adalah tempat-tempat belajar Syekh Kholil yang diriwayatkan dengan akurat dan shahih. Selain itu, ada beberapa riwayat bahwa beliau juga pernah mondok di dua tempat lain, yaitu Pesantren Langitan dan Pesantren Banyuwangi. Namun Menurut Kiai Kholil bin Abdul Lathif bin Muhammad Thoha bin Kaffal, sebagaimana yang dituturkan Kiai Thoha Kholili, dua Pesantren itu tidak dikenal oleh beliau sebagai tempat belajar Syekh Kholil. Waalahu a’lam. Sejak kecil, sering terjadi hal-hal yang aneh pada Syekh Kholil. Sebenarnya Nyai Maryam sudah sering melihat hal-hal aneh Syekh Kholil sejak beliau baru diserahkan oleh Kiai Abdul Latif, namun Nyai Maryam tidak segera menceritakan hal-hal aneh itu pada Kiai Kaffal. Setelah sering terjadi dan Nyai Maryam hawatir terjadi apa-apa pada Kholil kecil, akhirnya Nyai Maryam bercerita juga pada Kiai Kaffal, namun Kiai Kaffal justru menganggap hal itu sebagai pertanda baik bagi Kholil kecil. Sampai usia remaja, hal-hal aneh sering terjadi pada Syekh Kholil, baik di rumah maupun di pesantern. Selama di Pesantren, Syekh Kholil terkenal sebagai santri yang rajin dan sabar. Beliau menjalani hidup yang memprihatinkan, karena memang beliau nyantri dengan hidup mandiri, tanpa ada yang membiayai. Karena beliau banyak memanfaatkan waktu untuk belajar, beliaupun tidak sempat bekerja cukup untuk mendapat makanan yang layak, dan akibatnya beliau harus makan makanan yang sangat tidak layak, seperti makanan sisa, makanan basi yang telah dijemur, kulit semangka dan sebagainya. Sebenarnya, hidup seperti itu tidak memprihatinkan buat Syekh Kholil, karena beliau memiliki kebanggaan dan kenikmatan lain melebihi makanan lezat dan hidup mewah, yaitu kenikmatan dan kebanggaan menuntut ilmu. Maka dari itu, walaupun beliau menjalani hidup yang memprihatinkan menurut orang lain, namun tidaklah memprihatinkan menurut beliau sendiri, wajah beliau tidak kalah bersahaja dari pada teman-teman beliau yang hidupnya cukup atau berkecukupan. Setelah cukup dewasa, Syekh Kholil bermaksud melanjutkan belajar ke Makkah Al-Mukarramah. Dalam buku “Surat kepada Anjing Hitam”, Saifur Rachman menulis bahwa sebelum belajar di Makkah, Syekh Kholil belajar di Pesantren Banyuwangi. Saifur Rachman Berkata: “Inilah Pesantren Kiai Kholil yang ditempuh di Jawa. Selama di Pesantren ini Kholil santri mempunyai kisah tersendiri. Pengasuh Pesantren ini mempunyai kebun kalapa yang sangat luas. Kholil santri menjadi buruh memetik kelapa dengan upah 80 pohon mendapat tiga sen. Semua hasil memetik kelapa disimpan didalam peti, lalu di persembahkan pada Kiai. Tentang biaya makan sehari-hari, Kholil santri menjalani kehidupan prihatin. Terkadang menjadi pembantu (khaddam) Kiai, mengisi bak mandi, mencuci pakaian dan piring serta pekerjaan lainnya. Bahkan Kholil santri sering menjadi juru masak kebutuhan teman-temannya. Dari kehidupan prihatin itu Kholil santri mendapat makan cuma-cuma. Sesudah cukup di Pesantren itu, gurunya menganjurkan Kholil untuk melanjutkan belajarnya ke Makkah. Uang dalam peti yang dahulu dihaturkan kepada Kiai, kemudian oleh Kiai diserahkan kembali pada Kholil sebagai bekal belajar di Makkah. Riwayat ini sebenarnya tidak dikenal oleh sesepuh keturunan Syekh Kholil sendiri. Namun hal itu masih dalam kategori “mungkin”. Kalau riwayat ini benar, maka riwayat ini bisa disambung dengan riwayat keluarga Syekh Kholil, bahwa pada suatu hari Syekh Kholil pulang menemui Nyai Maryam, tiba-tiba Syekh Kholil Berkata: “ Kak, saya mau pamit berangkat ke Makkah.” “Mau berangkat kapan, ‘Lil?” Tanya Nyai Maryam. “Sore ini, kak.” Jawab Syekh Kholil singkat. Sebenarnya ini suatu hal yang aneh, karena setahu Nyai Maryam, Syekh Kholil tidak punya uang banyak untuk bisa ke Makkah, apalagi dengan mendadak seperti itu. Namun Nyai Maryam sudah biasa mendapati hal yang aneh-aneh dari sang adik, maka Nyai Maryampun percaya saja dan tidak menganggap hal itu sebagai hal yang aneh. Maka Nyai Maryampun berkata: “Kalau begitu tunggu aku masak nasi dulu, ya, ‘Lil. Kamu makan dulu sebelum berangkat.” Syekh Kholilpun menunggu sang kakak memasak. Setelah makanan siap, Syekh Kholilpun makan dan kemudian pamit berangkat ke Makkah. Menurut penuturan Nyai Maryam, Syekh Kholil berjalan ke arah Barat dan Nyai Maryam menatap kepergian beliau sampai beliau tak terlihat. Nyai Maryam tidak tahu persisnya Syekh Kholil berangkat naik apa dan dari mana. Barangkali saja Syekh Kholil naik kapal dari Kamal atau dengan cara lain. Wallahu a’alam DI MAKKAH AL-MUKARRAMAH Dalam buku “Surat Kepada Anjing Hitam”, Saifur Rachman menulis: “Selama dalam perjalanan ke Makkah, Kholil selalu dalam keadaan berpuasa dan mendekatkan diri kepada Allah. Siang hari banyak digunakan membaca Al-Qur’an dan shalawat, sedangkan pada malam hari digunakan melakukan wirid dan taqarub kepada Allah. Hal itu dilakukannya terus menerus sampai di Makkah. Setibanya di mekkah Kholil segera bergabung dengan teman-temannya dari Jawa. Selama di Makkah Kholil mempelajari pelbagai ilmu pengetahuan. Banyak para Syaikh yang Kholil datangi. Selama menempuh pendidikan di Makkah, kebiasaan hidup sederhana dan prihatin tetap dijalankan seperti waktu dipesantren Jawa. Kholil sering makan kulit semangka ketimbang makanan yang wajar pada umumnya. Sedangkan minumannya dari air zamzam, begitu dilakukannya terus menerus selama empat tahun di mekkah. Hal ini mengherankan teman-teman seangkatannya, seperti Nawawi dari banten, Akhmad Khatib dari Minang Kabau dan Ahmad Yasin dari Padang. Bahkan ketika bermaksud buang air besar, Kholil tidak pernah melakukan di Tanah Haram, tetapi keluar ke tanah halal karena menghormati Tanah Haram. Didalam berguru, Kholil mencatat pelajarannya menggunakan baju yang dipakainya sebagai kertas tulis. Kemudian, setelah dipahami dan dihafal lalu dicuci, kemudian dipakai lagi. Begitu seterusnya dilakukan selama belajar di Mekkah. Oleh sebab itu pakaian Kholil semuanya berwarna putih. Tentang biaya selama nyantri di Mekkah Kholil menulis pelbagai risalah dan kitab kemudian dijual. Kholil banyak menulis kitab Alfiah dan menjualnya seharga 200 real perkitab. Terkadang memanfaatkan keahliannya menulis khat (kaligrafi) untuk menghasilkan uang. Semua uang hasil penulisan risalah dan kitab kemudian dihaturkan kepada gurunya. Kholil sendiri memilih kehidupan sangat sederhana. Kehidupan sederhana yang ditempuhnya selama nyantri di mekkah adalah pengaruh kuat ajaran Imam Ghazali, salah seorang ulama yang dikaguminya. Dalam mengarungi lautan ilmu di Makkah, disamping mempelajari ilmu dhohir (eksoterik), seperti tafsir, Hadits, Fikih dan ilmu nahwu, juga mempelajari ilmu bathin (isoterik) ke pelbagai guru spiritual. Tercatat guru spiritual Kholil adalah Syaikh Ahmad Khatib Sambas Ibnu Abdul Ghofar yang bertempat tinggal di Jabal Qubais. Syaikh Ahmad Khatib mengajarkan Thariqoh Qodariyyah wan Naqsyabandiyyah. Biasanya kedua thariqoh ini terpisah dan berdiri sendiri. Namun setelah Syaikh Ahmad Khatib, kedua thariqoh ini dipadukan. CARA BELAJAR SYEKH KHOLIL Kesimpulannya, didalam menuntut ilmu, Syekh Kholil telah maksimal mengusahakan hal-hal berikut:
1. Ikhlas karena Allah SWT. Beliau tidak peduli dengan pahitnya kehidupan saat itu, karena yang beliau pentingkan adalah ilmu, dengan harapan Allah ridha dengan ilmu yang beliau dapat. Beliau dapat membuktikan keikhlasan itu ketika Allah SWT menguji beliau dengan hidup yang serba kekurangan.
2. Akhlaq yang tinggi kepada Allah SWT. Kita bisa lihat akhlaq beliau ketika beliau harus keluar dari tanah haram (Makkah) untuk buang air besar. Beliau merasa tidak sopan buang hajat di tanah suci. Ini menunjukkan betapa Syekh Kholil sangat tawadhu’ dan peka terhadap Allah.
3. Cinta, hormat dan patuh kepada guru, tentunya setelah memilih guru yang layak. Apapun beliau berikan kepada guru, untuk membantu dan membuat guru ridha. Dihadapan guru, beliau siap sedia untuk diperintah melebihi budak dihadapan tuannya. Jangankan harta, nyawapun siap dipertaruhkan untuk guru. 4. Mencintai ilmu sehingga beliau rajin belajar. Dengan menggabung empat hal ini, Syekh Kholil berhasil mendapatkan ilmu yang banyak dan barokah, dan semua itu kemudian mengantarkan beliau mendapat derajat yang tinggi di sisi Allah, yaitu sebagai ulama da wali Allah. Bagi yang ingin mendapatkan apa yang diperoleh Syekh Kholil, maka empat hal itulah kuncinya. GURU-GURU SYEKH KHOLIL DI MAKKAH AL-MUKARRAMAH Dalam buku “Surat Kepada Anjing Hitam”, Saifur Rachman menulis: “Muhammad Kholil bersama Abdul Karim dan Tolhah berguru kepada Syaikh Ahmad Khatib Sambas. Setelah ketiganya mendapat ijazah dan berhak sebagai mursyid, lalu pulang ke Jawa menyebarkan thariqoh Qodariyyah dan Naqsyabandiyyah. Menurut Abah Anom, seorang mursyid Thariqoh Qodariyyah wan Naqsabandiyyah di Tasikmalaya, Syaikh Abdul Karim menyebarkan Thariqot di Banten, Syaikh Tolhah di Cirebon dan syaikh Kholil di Madura. Tentang keabsahan Thariqoh Kiai Kholil banyak kekhilafan diantara ulama. Namun menurut catatan penulis yang mendengar langsung lewat kaset penjelasan murid Kiai Kholil, Kiai As’ad Syamsul Arifin, bahwa thariqoh Kiai Kholil adalah Qodariyyah wan Naqsabandiyyah. Dengan demikian silsilah Kiai kholil dalam kemursyidan thariqoh Qodariyyah wan Naqsabandiyyah dari jalur Syaikh Ahmad Khatib Sambas adalah sebagai berikut : 1. Allah SWT Rabbul Alamin. 2. Jibril AS. 3. Nabi Muhammad SAW. 4. Ali Bin Abi Thalib. 5. Husein Bin Ali. 6. Zaenal Abidin 7. Muhammad Al-Baqir. 8. Ja’far Ash-Shodiq. 9. Imam Musa Al-Kazhim. 10. Abu Hasan Ali Ar-Ridho 11. Ma’ruf Karkhi 12. Sari As-Saqoti 13. Abu Qosim Junaid Al-Baghdadi 14. Abu Bakar Asy-Syibli 15. Abu Fadly Abd Wahidi At-Tamimi 16. Abu Farazi At-Thurthusil 17. Abu Hasan Ayyub 18. Abu Said Al-Mubarok 19. Abdul Qodir Al-Jailani 20. Abdul Aziz 21. Muhammad Al-Hattak 22. Syamsudin 23. Syarifudin 24. Nurudin 25. Waliyyuddin 26. Hisyammuddin 27. Yahya 28. Abu Bakar 29. Abdurrahim 30. Utsman 31. Abdul Fattah 32. Muhammad Muraad 33. Syamsudin 34. Ahmad Khatib Sambas 35. Muhammad Kholil Bangkalan Melihat kewenangan Kiai Kholil sebagai mursyid Thariqoh Qodariyyah wan Naqsyabandiyyah menunjukkan beliau memiliki derajat yang tinggi di dalam maqom spiritualnya. Menurut penuturan Kiai As’ad Syamsul Arifin, pada saat Kiai Kholil berzikir di ruangan majlis dzikir, apabila lampu dimatikan sering terlihat sinar biru yang sangat terang memenuhi ruangan tersebut. Sementara itu, ada empat nama yang saya baca dalam tulisan tangan Syekh Kholil, nampaknya mereka ini adalah guru-guru beliau sewaktu belajar di Makkah Al-Mukarramah, yaitu:
1. Syekh Ali Al-Mishri: Nama ini saya dapatkan pada salah satu surat Syekh Kholil kepada Kiai Muntaha ketika Kiai Muntaha belajar di Makkah.
2. Syekh Umar As-Sami: Saya temukan pada tulisan Syekh Kholil sebagai catatan pinggir kitab Al-Matan Asy-Syarif (ilmu nahwu). Di situ Beliau menyitir banyak keterangan yang beliau terima dari Syekh Umar As-Sami.
3. Syekh Khalid Al-Azhari,
4. Syekh Al-Aththar
5. dan Syekh Abun-Naja: Mereka bertiga juga sering disebut dalam beberapa tulisan tangan Syekh Kholil sebagai orang yang memberikan keterangan-keteragan dalam ilmu nahwu. Nama-nama itu tersebar di berbagai kitab tulisan tangan Syekh Kholil. Saya melihat dan mempelajari tulisan-tulisan itu dari kitab-kitab Syekh Kholil yang ada pada Kiai Thoha Kholili. Syek Ali Ar-Rahbini, guru terdekat Syekh Kholil Syekh Ali bin Muhammad Amin bin Athiyyah Ar-Rahbini. Beliau adalah salah satu ulama Makkah. Saya pernah membaca biografi beliau dalam sebuah kitab “Tarajim” yang saya pinjam dari Syekh Ruwaid bin Hasan Ar-Rahbini ketika beliau bertandang ke Malang, namun sayang sekali saya tidak sempat meng-copy kitab itu, sayapun lupa sebagian besar isinya. Kejadian itu memang sudah cukup lama, yaitu sekitar tahun 1992 dimana pada saat itu saya baru berusia 17 tahun. Adapun putra beliau yag bernama Syekh Muhammad bin Ali, maka Syekh Umar Abdul Jabbar, dalam kitab “tarajim”nya, menulis bahwa beliau lahir pada tahun 1286 H (+ 1871) dan wafat tahun 1351 H (+ 1934). Maka Syekh Muhammad bin Ali lebih muda 36 tahun dari Syekh Kholil. Beliau masuk dalam jajaran ulama Makkah abad ke-13, sezaman dengan Sayyid Abbas bin Abdul Aziziz Al-Maliki (kakek Sayyid Muhammad bin Alawi bin Abbas Al-Maliki). Menurut Syekh Umar Abdul Jabbar, Syekh Muhammad bin Ali memiliki Majlis ta’lim di Babul Umroh Masjidil Haram. Bisa jadi, Syekh Muhamad menggatikan majlis ayah beliau, sebagaimana adat ulama Makkah apabila meneruskan profesi orang tuanya. Syekh Ali dan Syekh Muhammad masyhur dengan keahlian yang menonjol dalam bidang qira’at (riwayat bacaan Al-Qura’an). Mereka hafal Al-Qur’an dengan tujuh qira’at (riwayat). Adapun Syekh Ali Ar-Rahbini, Di akhir hayat beliau tertimpa sakit hingga mengalami kebutaan, sehingga beliaupun berhenti mengajar di Masjidil Haram. Namun Syekh Kholil tidak berhenti belajar kepada Syekh Ali setelah beliau buta, karena Syekh Kholil memohon izin untuk terus belajar di rumah beliau dan beliaupun berkenan. Syekh Kholil sangat menghormati dan meyakini Syekh Ali, sehingga ketika Syekh Ali meyuruh Syekh Kholil pulang, Syekh Kholil mematuhi perintah itu walau sebenarnya beliau masih merasa kurang ilmu dan masih ingin menambah ilmu. Berkat kepatuhan itu Syekh Kholil diberkati oleh Allah SWT. Pada tahun 1997 saya bersilaturrahim kepada Syekh Muhammad Thayyib bin Muhammad bin Ali Ar-Rahbini di Makkah, cucu Syekh Ali Ar-Rahbini, waktu itu beliau telah berusia 95 tahun dan saya baru berusia 22 tahun. Kebetulan, ibu saya adalah cucu Syekh Ali dari jalur Syekh Ali bin Muhammad bin Ali Ar-Rahbini, maka saya pernah “buyut paman” pada Syekh Muhammad Thayyib. Diantara riwayat yang saya ambil dari beliau adalah bahwa Syekh Ali Ar-Rahbini memiliki karya tulis tentang Al-Qur’an, namun sampai saat itu manuskripnya hilang entah kemana. Mengenai nisbat Ar-Rahbini, Rahbin adalah nama sebuah kampung di dekat kota Samannud, Mesir. Syekh Ali memang keturunan Mesir. Beliau yang pertama wafat di Makkah. Ayah beliau, yaitu Syekh Muhammad Amin wafat di Istambul, Turki. Sedang kakek beliau, yaitu Syekh Athiyyah, dan beberapa generasi sebelumnya tinggal di kampung Rahbin itu. Keluarga Ar-Rahbini yang di Indonesia memegang silsilah hanya sampai Athiyyah. Menurut Syekh Ruwaid bin Hasan bin Ali Ar-Rahbini, cucu beliau yang tinggal di Jiddah, nasab Al-Rahbini bersambung pada Sayyidina Utsman bin Affan. Setelah Syekh Kholil pulang ke Indonesia, beliau tidak putus hubungan dengan Syekh Ali. Setelah Syekh Ali meninggal, ternyata putra beliau, Syekh Muhammad, juga menonjol kelimannya dan mengajar di Masjidil Haram. maka keponakan Syekh Kholilpun, yaitu Kiai Muntaha yang kelak kemudian menjadi menantu beliau, belajar pada Syekh Muhammad bin Ali Ar-Rahbini. Hubungan Syekh Kholil dengan keluarga Ar-Rahbini tidak berhenti sampai pada Syekh Muhammad, melainkan berlangsung sampai pada Syekh Ali bin Muhammad bin Ali Ar-Rahbini, karena cucu guru beliau itu akhirnya datang ke Indonesia. Cerita kedatangan Syekh Ali cukup menarik sehingga layak untuk dimuat sebagai salah satu cerita karomah Syekh Kholil. Pada suatu pagi setelah shalat shubuh, seperti biasa Syekh Kholil mengajar santri di mushalla. Tiba-tiba Syekh Kholil menutup kitab dan berkata: “Anak-anak, pengajian kali ini singkat saja, sekarang kalian langsung membersihkan halaman dan ruang tamu, karena sebentar lagi ada tamu agung, yaitu cucu dari guruku, Syekh Ali bin Muhammad bin Ali Ar-Rahbini. Setelah semua lingkungan pondok bersih, maka datanglah Syekh Ali bin Muhammad bin Ali Ar-Rahbini. Syekh Kholil sudah tahu bakal kedatangan tamu jauh, padahal waktu itu belum ada telpon. Setelah Syekh Ali datang, maka Syekh Kholil menciumi Syekh Ali mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki. Begitu cinta dan hormatnya beliau terhadap Syekh Ali sebagai cucu dari guru beliau. Kemudian Syekh Kholil menyuruh santri untuk mengambil tiga gelas diatas nampan, gelas yang pertama diisi air putih, gelas kedua diisi susu, gelas ketiga diisi kopi. Kemudian Syekh Kholil berkata pada santri-santri: “Apabila Syekh Ali minum susu, insyaallah beliau tidak lama di Indonesia. Apabila Syekh Ali minum air putih, insyaallah beliau akan tinggal lama di Indonesia dan akan pulang ke Makkah. Dan apabila Syekh Ali minum kopi, insyaallah beliau terus tinggal di Indonesia.” Mendengar ucapan Syekh Kholil tersebut, para santri menunggu saatnya Syekh Ali memilih diantara tiga gelas itu. Ternyata Syekh Ali memilih dan meminum kopi, padahal kopi Madura (Indoesia) lain dengan kopi Arab. Kontan saja para santri bersorak gembira. Syekh Ali hanya tersenyum saja karena tidak mengerti apa yang terjadi, beliau pikir sorak gembira itu adalah bagian dari adat menyambut tamu. Syekh Ali datang ke Indonesia pada tahun 1921, beberapa tahun sebelum Syekh Kholil wafat. Waktu itu Syekh Ali masih berusia 18 tahun dan masih lajang, namun sudah hafal Al-Qur’an dan perawakannya tinggi besar dengan wajah putih berbulu lebat. Dengan ilmu dan perawakannya itu beliau tidak nampak seperti anak muda, melainkan sudah berwibawa. Kendatipun Syekh Kholil sangat menghormati Syekh Ali, namun Syekh Ali juga tidak kalah menghormati Syekh Kholil, bahkan Syekh Ali kemudian berguru pada Syekh Kholil. Tidak sampai di situ, melainkan Syekh Ali menjadi sangat ta’zhim dan fanatik terhadap Syekh Kholil. Beliaupun menikahkan salah satu cucu beliau dengan seorang cucu Syekh Kholil. Ketika lahir anak pertama pasangan sang Kiai cucu Syekh Kholil dan sang Nyai cucu Syekh Ali, Syekh Ali memberi bayi itu Nama “Kholil”. Semula sang Kiai cucu Syekh Kholil itu keberatan, karena di keluarga beliau sudah banyak yang bernama “Kholil”. Menanggapi keberatan itu kemudian Syekh Ali marah dan berkata: “Biarpun sudah ada seribu ‘Kholil’, anakmu tetap harus diberi nama ‘Kholil’. Seribu ‘Kholil’ seribu barokah!” Akhirnya anak itupun kemudian diberi nama “Kholil”. Itu adalah sebagian cerita antara Syekh Kholil dengan keluarga Ar-Rahbini. Adapun Syekh Ali Ar-Rahbini sendiri kemudian tinggal di Gondanglegi Malang. Beliau dikenal sebagai ulama yang hafal Al-Qur’an dan fasih, suaranya yang lantang dan berwibawa membuat jamaah jum’at betah mendengar khutbah beliau walaupun mereka tidak mengerti khutbah beliau yang berbahasa Arab. Beliau juga dikenal wali, banyak cerita kezuhudan dan karomah beliau yang tentu terlalu panjang untuk dimasukkan dalam bab ini. Beliau menikah dengan beberapa wanita Jawa dan Madura, dari lima orang istri beliau mempunyai 24 putra-putri. Beberapa putri beliau dinikahkan dengan Kiai-kiai Madura, yaitu Nyai Lathifah dengan Kiai Shonhaji Jazuli (ulama besar Pamekasan); adiknya, yaitu Nyai Aminah dengan adik Kiai Shonhaji, yaitu Kiai Mahalli; Nyai Sarah dengan Kiai Asim Luk-guluk (ulama besar Sumenep); Nyai Qudsiyah dengan Kiai Abdul Aziz Ombhul (ulama besar Sampang). Adapun dari putra-putra beliau ada dua orang yang meneruskan perjuangan beliau, yaitu Kiai Fauzi di Gondanglegi, Malang dan Kiai Khairuman yang mendirikan pondok pesantren di Pontianak, yaitu Pesantren Darul Ulum yang merupakan pesantren terbesar dan terkenal di Kalimantan Barat. SILSILAH NASAB Syekh Kholil adalah titisan beberapa wali yang tergabung dalam Walisongo, Yaitu Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Gunung Jati dan Sunan Kudus, yang mana mereka bermarga “Azmatkhan” dan bersambung pada Sayyid Alawi Ammil Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath. Beliau juga bernasab pada keluarga Basyaiban yang bersambung pada Al-Imam Muhammad Al-Faqih Al-Muqaddam bin Ali bin Muhammad Shahib Mirbat Al-Alawi Al-Husaini. Berikut ini adalah silsilah nasab Syekh Syekh Kholil, terlebih dahulu saya tulis silsilah jalur laki-laki yang bersambung pada Suanan Kudus, untuk menunjukkan hak beliau dalam menggunakan nama belakang (marga/fam) “Azmatkhan Al-Alawi Al-Husaini”, sesuai dengan adat dan istilah pernasaban bangsa Arab. Jalur Sunan Kudus (Garis laki-laki) 1. Syekh Muhammad Kholil Bangkalan. 2. Kiai Abdul Lathif. Dimakamkan di Bangkalan. 3. Kiai Hamim. Dimakamkan di Tanjung Porah, Lomaer, Bangkalan. 4. Kiai Abdul Karim 5. Kiai Muharram. Dimakamkan di Banyo Ajuh, Bangkalan. 6. Kiai Abdul Azhim. Dimakamkan di Tambak Agung, Sukalela, Labeng, Bangkalan. 7. Kiai Selase. Dimakamkan di Selase Petapan, Trageh, Bangkalan. 8. Kiai Martalaksana. Dimakamkan di Banyu Buni, Gelis, Bangkalan. 9. Kiai Badrul Budur. Dimakamkan di Rabesan, Dhuwwek Buter, Kuayar, Bangkalan. 10. Kiai Abdur Rahman (Bhujuk Lek-palek). Dimakamkan di Kuanyar, Bangkalan. 11. Kiai Khatib. Ada yang menulisnya “Ratib”. Dimakamkan di Pranggan, Sumenep. 12. Sayyid Ahmad Baidhawi (Pangeran Ketandar Bangkal). Dimakamkan di Sumenep. 13. Sayyid Shaleh (Panembahan Pakaos). Dimakamkan di Ampel Surabaya 14. Sayyid Ja’far Shadiq (Sunan Kudus) Dimakamkan di Kudus. 15. Sayyid Utsman Haji (Sunan Ngudung). Dimakamkan di Kudus. 16. Sayyid Fadhal Ali Al-Murtadha (Raden Santri /Raja Pandita). Dimakamkan di Gresik. 17. Sayyid Ibrahim (Asmoro). Dimakamkan di Tuban 18. Sayyid Husain Jamaluddin Dimakamkan di Bugis. 19. Sayyid Ahmad Syah Jalaluddin. Dimakamkan di Naseradab, India. 20. Sayyid Abdullah. Dimakamkan di Naserabad, India. 21. Sayyid Abdul Malik Azmatkhan. Dimakamkan di Naserabad, India. 22. Sayyid Alawi ‘Ammil Faqih. Dimakamkan di Tarim, Hadramaut, Yaman. 23. Sayyid Muhammad Shahib Mirbath. Dimakamkan di Zhifar, Hadramaut, Yaman. 24. Sayyid Ali Khali’ Qasam. Dimakamkan di Tarim, Hadramaut, Yaman. 25. Sayyid Alawi. Dimakamkan di Bait Jabir, Hadramaut, Yaman. 26. Sayyid Muhammad. Dimakamkan di Bait Jabir, Hadramaut, Yaman. 27. Sayyid Alawi. Dimakamkan di Sahal, Yaman. 28. Sayyid Abdullah/Ubaidillah. Dimakamkan di Hadramaut, Yaman. 29. Al-Imam Ahmad Al-Muhajir . Dimakamkan di Al-Husayyisah, Hadramaut, Yaman. 30. Sayyid Isa An-Naqib. Dimakamkan di Bashrah, Iraq. 31. Sayyid Muhammad An-Naqib. Dimakamkan di Bashrah, Iraq. 32. Al-mam Ali Al-Uradhi. Dimakamkan di Al-Madinah Al-Munawwarah. 33. Al-Imam Ja’far Ash-Shadiq. Dimakamkan di Al-Madinah Al-Munawwarah. 34. Al-Imam Muhammad Al-Baqir. Dimakamkan di Al-Madinah Al-Munawwarah. 35. Al-Imam Ali Zainal Abidin. Dimakamkan di Al-Madinah Al-Munawwarah. 36. Sayyidina Husain bin Ali bin Abi Thalib. Dimakamkan di Karbala, Iraq. 37. Sayyidatina Fathimah Az-Zahra’ binti Sayyidina Muhammad Rasulillah SAW. Dimakamkan di Madinah Al-Munawwarah Maka, dari jalur Sunan Kudus, Syekh Kholil adalah generasi ke-37 dari Rasulullah SAW. Jalur Sunan Ampel (garis perempuan) 1. Syekh Muhammad Kholil Bangkalan. 2. Kiai Abdul Lathif. Dimakamkan di Bangkalan. 3. Kiai Hamim. Dimakamkan di Tanjung Porah, Lomaer, Bangkalan. 4. Kiai Abdul Karim. 5. Kiai Muharram. Dimakamkan di Banyo Ajuh, Bangkalan. 6. Kiai Abdul Azhim. Dimakamkan di Tambak Agung, Sukalela, Labeng, Bangkalan. 7. Nyai Tepi Sulasi (Istri Kiai Sulasi). Dimakamkan di Petapan, Trageh, Bangkalan. 8. Nyai Komala. Dimakamkan di Kuanyar, Bangkalan. 9. Sayyid Zainal Abidin (Sunan Cendana). Dimakamkan di Kuanyar, Bangkalan. 10. Sayyid Muhammad Khathib (Raden Bandardayo). Dimakamkan di Sedayu Gresik. 11. Sayyid Musa (Sunan Pakuan). Dimakamkan di Dekat Gunung Muria Kudus. Dalam sebagian catatan nama Musa ini tidak tertulis. 12. Sayyid Qasim (Sunan Drajat). Dimakamkan di Drajat, Paciran Lamongan. 13. Sayyid Ahmad Rahmatullah (Sunan Ampel). Dimakamkan di Ampel, Surabaya. 14. Sayyid Ibrahim Asmoro Tuban. Disini nasab Nyai Sulasi dan Kiai Sulasi bertemu. Maka, melalui jalur Sunan Ampel, Syekh Kholil adalah generasi ke-34 dari Rasulullah SAW. Jalur Sunan Giri (garis perempuan) 1. Syekh Muhammad Kholil Bangkalan. 2. Kiai Abdul Lathif. Dimakamkan di Bangkalan. 3. Kiai Hamim. Dimakamkan di Tanjung Porah, Lomaer, Bangkalan. 4. Kiai Abdul Karim. 5. Kiai Muharram. Dimakamkan di Banyo Ajuh, Bangkalan. 6. Kiai Abdul Azhim. Dimakamkan di Tambak Agung, Sukalela, Labeng, Bangkalan. 7. Nyai Tepi Sulasi (Istri Kiai Sulasi). Dimakamkan di Petapan, Trageh, Bangkalan. 8. Nyai Komala. Dimakamkan di Kuanyar, Bangkalan. 9. Sayyid Zainal Abidin (Sunan Cendana). Dimakamkan di Kuanyar, Bangkalan. 10. Nyai Gede Kedaton (istri Sayyid Muhammad Khathib). Dimakamkan di Giri, Gresik. 11. Ali Khairul Fatihi / Panembahan Kulon. Dimakamkan di Giri, Gresik. 12. Sayyid Muhammad Ainul Yaqin (Sunan Giri). Dimakamkan di Giri, Gresik. 13. Maulana Ishaq. Dimakamkan di Pasai. 14. Sayyid Ibrahim Asmoro Tuban. Disini nasab Nyai Gede Kedaton dan Sayyid Muhammad Khathib bertemu. Maka, melalui jalur Sunan Giri, Syekh Kholil adalah generasi ke-34 dari Rasulullah SAW. Jalur Sunan Gunung Jati (garis perepuan) 1. Syekh Muhammad Kholil Bangkalan. 2. Kiai Abdul Lathif. Dimakamkan di Bangkalan. 3. Nyai Khadijah (Istri Kiai Hamim). Dimakamkan di Bangkalan. 4. Kiai Asror Karomah. 5. Sayyid Abdullah. 6. Sayyid Ali Al-Akba 7. Syarifah Khadijah. 8. Maulana Hasanuddin Dimakamkan di Banten. 9. Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Dimakamkan di Cirebon. 10. Sayyid Abdullah Umdatuddin. 11. Sayyid Ali Nuruddin/Nurul Alam. 12. Sayyid Husain Jamaluddin Bugis. Disini nasab Nyai Khadijah dan Kiai Hamim Kholil bertemu. Maka, melalui jalur Sunan Gunung Jati, Syekh Kholil adalah generasi ke-32 dari Rasulullah SAW. Jalur Basyaiban (garis perempuan) 1. Syekh Muhammad Kholil Bangkalan. 2. Kiai Abdul Lathif. Dimakamkan di Bangkalan. 3. Nyai Khadijah (Istri Kiai Hamim). Dimakamkan di Bangkalan. 4. Kiai Asror Karomah. 5. Sayyid Abdullah. 6. Sayyid Ali Al-Akbar. 7. Sayyid Sulaiman. Dimakamkan di Mojo Agung, Jombang. 8. Sayyid Abdurrahman (Suami Syarifah Khadijah binti Hasanuddin). 9. Sayyid Umar. 10. Sayyid Muhammad. 11. Sayyid Abdul Wahhab. 12. Sayyid Abu Bakar Basyaiban. 13. Sayyid Muhammad. 14. Sayyid Hasan At-Turabi. 15. Sayyid Ali. 16. Al-Imam Muhammad Al-Faqih Al-Muqaddam. 17. Sayyid Ali. 18. Sayyid Muhammad Shahib Mirbat. Disini nasab keluarga Azmatkhan dan Basyaiban bertemu. Maka, melalui jalur Sayyid Abdurrahman Basyaiban, Syekh Kholil adalah generasi ke-32 dari Rasulullah SAW. Demikianlah nasab Syekh Kholil dengan berbagai jalur yang saya dapatkan sampai saat ini, bisa jadi suatu hari nanti kita menemukan nama-nama baru daripada istri-istri jalur laki-laki yang ada itu. Dalam hal pencatatan nasab, ada satu hal yang cukup membanggakan bagi Kiai-kiai Jawa dan Madura. Berkat gabungan antara adat Arab dalam menjaga silsilah dan adat Jawa/Madura yang tidak membeda-bedakan garis laki-laki dan perempuan, akhirnya Kiai-Kiai Jawa/Madura banyak yang memliki silsilah lengkap dari berbagai jalur. Saya pernah menunjukkan sebuah silsilah seperti ini pada seorang Syekh dari Yaman, beliau merasa kagum karena banyak jalur perempuan yang juga dicatat dalam silsilah itu selain jalur laki-laki, karena pada umumnya, orang Arab tidak tahu nama-nama kakek-buyutnya yang dari jalur ibu atau jalur nenek, mereka hanya mengenal yang jalur ayah keatas dengan garis laki-laki SEPULANG DARI MAKKAH Saya membaca catatan Syekh Kholil dalam kitab “Hasyiyah Al-Bajuri” tulisan tangan beliau yang ada pada Kiai Thoha Kholili Jangkibuan, di situ tertulis pernyataan berbahasa Arab yang artinya: “Aku membaca (mengaji) kitab ini pada tahun 1274 H pada …”. Nama guru ngaji beliau tidak jelas karena tulisannya rusak seperti terkena basah. Kemudian, dalam catatan Kiai Kholili Jangkibuan, tertulis bahwa Syekh Kholil menikah dengan Nyai Assek binti Ludrapati pada tahun 1278. Maka kita bisa memastikan bahwa kepulangan Syekh kholil dari Makkah adalah antara tahun 1274 dan 1278 (+ 1857-1861). Sepulang dari Makkah, Syekh Kholil tidak langsung mengajar, beliau baru mulai berpikir bagaimana caranya agar dapat mengajarkan ilmunya pada masyarakat. Beliau masih tinggal bersama kakak beliau, Nyai Maryam, di Keramat. Sambil mencari peluang untuk mengamalkan ilmunya, Syekh Kholil mengisi waktu dengan bekerja di kantor pejabat Adipati Bangkalan. Selain untuk mencari nafkah, sepertinya beliau juga bermaksud untuk mencari banyak teman dan kenalan, karena hanya dengan begitulah beliau dapat bergaul. Di kantor pejabat Adipati Bangkalan itu, Syekh Kholil diterima sebagai penjaga dan kebagian jaga malam. Maka setiap bertugas malam, Syekh Kholil selalu membawa kitab, beliau rajin membaca di sela-sela tugas beliau. Akhirnya beliaupun oleh para pegawai Adipati dikenal ahli membaca kitab, sehingga berita itupun sampai pada Kanjeng Adipati. Kebetulan, leluhur Adipati sebenarnya adalah orang-orang alim, mereka memang keturunan Syarifah Ambami Ratu Ibu yang bersambung nasab pada Sunan Giri. Maka tidak aneh kalau di rumah Adipati banyak terdapat kitab-kitab berbahasa Arab warisan leluhur, walaupun Adipati sendiri tidak dapat mebaca kitab berbahasa Arab. Adipatipun mengizinkan Syekh Kholil untuk membaca kitab-kitab itu di perpustakaan beliau. Syekh Kholil merasa girang bukan main, karena pada zaman itu tidak mudah untuk mendapatkan kitab, apalagi sebanyak itu. Setelah yakin bahwa Syekh Kholil betul-betul ahli dalam ilmu keislaman dan bahasa Arab, maka Kanjeng Adipati mengganti tugas Syekh Kholil, dari tugas menjaga kantor berubah tugas mengajar keluarga Adipati. Pucuk dicinta ulampun tiba, demikianlah yang dirasa oleh Syekh Kholil, beliaupun memanfaatkan kesempatan itu untuk mengembangkan ilmunya dengan mengajar keluarga bangsawan. Beliaupun telah memiliki profesi baru sebagai pengajar ilmu agama. Sejak saat itu, Syekh Kholil memiliki tempat yang terhormat di hati Kanjeng Adipati dan keluarga bangsawan lainnya. Mereka mulai menghormati dan mencintai beliau sebagai ulama. Maka tertariklah seorang kerabat Adipati untuk bermenantukan Syekh Kholil, yaitu Raden Ludrapati yang memiliki anak gadis bernama Nyai Assek. Setelah proses pendekatan, maka diputuskanlah sebuah kesepakatan untuk menikahkan Syekh Kholil dengan Nyai Assek. Pernikahanpun berlangsung pada tanggal 30 Rajab 1278 H (+1861 M). Setelah menikah dengan Nyai Assek, Syekh Kholil mendapatkan hadiah dari sang mertua, Ludrapati, berupa sebidang tanah di desa Jangkibuan. Beliaupun membangun rumah dan pesantren di tanah itu. Beliau mulai menerima santri sambil masih mengajar di keraton Adipati. Tidak ada riwayat tentang sampai kapan Syekh Kholil mengajar di keraton Adipati, namun yang pasti, Pesantren Jangkibuan semakin hari semakin ramai, banyak santri berdatangan dari berbagai penjuru, baik dari sekitar Bangkalan maupun daerah lain di Madura dan Jawa. Syekh Kholil mengukir prestasi dengan cepat, nama beliau cepat dikenal oleh masyarakat, khususnya masyarakat pesantren, baik di Madura maupun di Jawa. Cepatnya nama beliau terkenal membuat banyak teman mondok beliau tidak percaya. Diantara mereka ada seseorang yang pernah berteman dengan beliau sewaktu mondok di Cangaan, orang ini tidak percaya bahwa Kholil yang ia kenal telah menjadi ulama besar. Ketika ia mendengar bahwa Syekh Kholil itu adalah Kholil temannya di Cangaan, maka iapun berkata: “Masa, sih, dia Kholil yang dulu suka main kelereng dengan saya itu?!”. Karena penasaran, orang itupun datang ke Bangkalan. Setibanya di bangkalan, orang itu bertanya pada seseorang, “mana rumah Syekh Kholil?”. Orang yang ditanya menunjukkan arah rumah Syekh Kholil, namun ternyata orang Jawa itu justru melihat banyak binatang buas di tempat yang ditunjuk itu. Iapun kembali menemui orang yang ditanya tadi, tapi tetap saja ia menunjuk tempat yang sama. Demikian sampai tiga kali. “Tapi tempat itu bukan rumah, kok, pak. Di situ saya lihat banyak binatang buasnya.” “Ah, masa? Baiklah, mari saya antar.” Setelah ketiga kalinya, orang Jawa itupun diantar dan begitu tiba di tempat ternyata ia melihat sebuah rumah yang dikerumuni binatang buas, bersamaan dengan itu keluarlah Syekh Kholil dan binatang-binatang itupun langsung pergi. Melihat yang keluar adalah benar-benar Kholil yang ia kenal, maka orang Jawa itupun langsung mencium tangan Syekh Kholil dan meminta maaf. Sejak saat itu, orang Jawa yang dulunya berteman dengan Syekh Kholil di Cangaan itupun kemudian berguru pada Syekh Kholil. PESANTREN DEMANGAN Pada tahun 1280 (+1863), lahirlah putri Syekh Kholil yang bernama Nyai Khotimah. Sementara itu Nyai Maryam (kakak Syekh Kholil) dengan Kiai Kaffal memiliki putra bernama Kiai Muntaha yang lahir pada tahun 1266 H. Saat Nyai Khotimah lahir, Kiai Muntaha berusia 14 tahun. Muntaha muda diberangkatkan ke Makkah untuk menuntut ilmu. Pada tahun 1288, Kiai Muntaha yang telah berubah nama menjadi Muhammad Thoha pulang ke Madura, saat itu beliau berusia 22 tahun. Maka Syekh Kholil menikahkan Kiai Thoha dengan Nyai Khotimah yang masih berusia 8 tahun. Namun Kiai Thoha dan Nyai Khotimah tidak langsung dipertemukan, melainkan Kiai Thoha berangkat lagi ke Makkah untuk melanjutkan pendidikan hingga tujuh tahun lamanya. Ada yang mengatakan hingga sembilan tahun. Setelah Kiai Thoha pulang, beliau telah menjadi seorang ulama muda yang mumpuni dalam berbagai bidang ilmu keislaman. Maka Syekh Kholilpun menyerahkan Pesantren Jangkibuan pada Kiai Thoha, sementara Syekh Kholil sendiri pindah dan mendirikan pesantren di Demangan. Dalam buku “Surat Kepada Anjing Hitam”, Saifur Rahcman menulis: “Dari Pesantren Demangan inilah Kiai Kholil bertolak menyebarkan agama Islam di Madura hingga Jawa. Kiai Kholil mula-mula membina agama Islam di sekitar Bangkalan. Baru setelah dirasa cukup baik, mulailah merambah ke pelosok-pelosok jauh, hingga menjangkau ke seluruh Madura secara merata. Pulau Jawa yang merupakan pulau terdekat dengan pulau Madura menjadi sasaran da’wah Kiai Kholil. Jawa yang telah dirintis oleh pendahulunya yaitu Sunan Giri, dilanjutkan oleh Kiai Kholil dengan metode da’wah yang sistematis. Tidak jarang Kiai Kholil dalam da’wahnya terjun langsung ke masyarakat lapisan terbawah di pedesaan Jawa. Saat ini masih nyata bekas peninggalan da’wah Kiai Kholil baik berupa naskah-naskah, kitab Al-Qur’an, maupun monument atau tugu yang pernah dibangunnya. Sebuah tugu penunjuk arah kiblat dan tanda masuknya sholat lima waktu masih dapat dilihat sampai sekarang di Desa Pelalangan, Bondowoso. Demikian juga beberapa kenangan berupa hadiah tasbih kepada salah satu masyarakat di daerah Bondowoso. Masih banyak bekas jejak da’wah yang dapat kita temui sekarang, seperti musholla, sumur, sorban, tongkat Kiai Kholil MURID-MURID SYEKH KHOLIL “Hampir ulama besar di Madura dan Jawa adalah murid Kiai Kholil. Selain itu, murid Kiai Kholil rata-rata berumur panjang, banyak diatas 100 tahun. Berikut ini sebagian murid Kiai Kholil yang mudah dikenal saat ini : 1. KH. Hasyim Asy’ari : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang. Beliau juga dikenal sebagai pendiri organisasi Islam Nahdlatul Ulama (NU) Bahkan beliau tercatat sebagai Pahlawan Nasional. 2. KHR. As’ad Syamsul Arifin : Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah, Sukorejo Asembagus, Situbondo. Pesantren ini sekarang memiliki belasan ribu orang santri. 3. KH. Wahab Hasbullah: Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Tambak Beras Jombang. Pernah menjabat sebagai Rais Aam NU (1947 – 1971). 4. KH. Bisri Syamsuri: Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Denanyar, Jombang. 5. KH. Maksum : Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Rembang, Jawa Tengah 6. KH. Bisri Mustofa : Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Rembang, Beliau juga dikenal sebagai mufassir Al Quran. Kitab tafsirnya dapat dibaca sampai sekarang, berjudul “Al-Ibriz” sebanyak 3 jilid tebal berhuruf jawa pegon. 7. KH. Muhammad Siddiq : Pendiri, Pengasuh Pesantren Siddiqiyah, Jember. 8. KH. Muhammad Hasan Genggong : Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Zainul Hasan, Genggong. Pesantren ini memiliki ribuan santri dari seluruh penjuru Indonesia. 9. KH. Zaini Mun’im : Pendiri, Pengasuh Pesantren Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo. Pesantren ini juga tergolong besar, memiliki ribuan santri dan sebuah Universitas yang cukup megah. 10. KH. Abdullah Mubarok : Pendiri, Pengasuh Pondok , kini dikenal juga menampung pengobatan para morphinis. 11. KH. Asy’ari : Pendiri, pengasuh pondok Pesantren Darut Tholabah, Wonosari Bondowoso. 12. KH. Abi Sujak : Pendiri, pengasuh pondok Pesantren Astatinggi, Kebun Agung, Sumenep. 13. KH. Ali Wafa : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Temporejo, Jember. Pesantren ini mempunyai ciri khas yang tersendiri, yaitu keahliannya tentang ilmu nahwu dan sharaf. 14. KH. Toha : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Bata-bata, Pamekasan. 15. KH. Mustofa : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Macan Putih, Blambangan 16. KH Usmuni : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Pandean Sumenep. 17. KH. Karimullah : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Curah Damai, Bondowoso. 18. KH. Manaf Abdul Karim : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo Kediri. 19. KH. Munawwir : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta. 20. KH. Khozin : Pendiri, pengasuh pondok Pesantren Buduran, Sidoarjo. 21. KH. Nawawi : Pendiri, pengasuh pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan. Pesantren ini sangat berwibawa. Selain karena prinsip salaf tetap dipegang teguh, juga sangat hati-hati dalam menerima sumbangan. Sering kali menolak sumbangan kalau patut diduga terdapat subhat. 22. KH. Abdul Hadi : Lamongan. 23. KH. Zainudin : Nganjuk 24. KH. Maksum : Lasem 25. KH. Abdul Fatah : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Al Fattah, Tulungagung 26. KH. Zainul Abidin : Kraksan Probolinggo. 27. KH. Munajad : Kertosono 28. KH. Romli Tamim : Rejoso jombang 29. KH. Muhammad Anwar : Pacul Bawang, Jombang 30. KH. Abdul Madjid : Bata-bata, Pamekasan, Madura 31. KH. Hasbullah Abubakar Tebul,Kwayar Bangkalan Madura (Makam Kramat Pantai Kedung Cowek Surabaya) 32. KH. Muhammad Thohir jamaluddin : Sumber Gayam, Madura. 33. KH. Zainur Rasyid : Kironggo, Bondowoso 34. KH. Hasan Mustofa : Garut Jawa Barat 35. KH. Raden Fakih Maskumambang : Gresik 36. Sayyid Ali Bafaqih : Pendiri, pengasuh Pesantren Loloan Barat, Negara, Bali 37. KH. Abdul Hamid bin Itsbat, banyuwangi GENERASI KELUARGA DAN PENERUS PERJUANGAN SYEKH KHOLIL STRI-ISTRI SYEKH KHOLIL Ada sembilan wanita yang tercatat sebagai istri Syekh Kholil, beberapa diantara mereka beliau nikahi setelah beberapa istri sebelumnya meninggal dunia. Hal itu sangatlan wajar, karena Syekh Kholil itu berumur panjang, bahkan ada yang mengatakan bahwa beliau berumur lebih dari seratus tahun, maka beliaupun beberapa kali kedahuluan meninggal oleh istri dan beberapa kali menikah lagi. Itulah sebabnya Syekh Kholil memiliki istri yang banyak. Mereka adalah: Nyai Raden Ayu Assek binti Ludrapati. Nyai Ummu Rahma. Nyai Raden Ayu Arbi’ah. Nyai Kuttab. Nyai Raden Ayu Nur Jati. Nyai Mesi. Nyai Sailah. Dari sembilan istri itu, hanya empat orang yang menurunkan keturunan Syekh Kholil. Mereka adalah: Nyai Assek, Nyai Ummu Rahmah, Nyai Arbi’ah dan Nyai Mesi. PUTRA-PUTRI SYEKH KHOLIL Dengan Nyai Assek: Ahmad (Meninggal masih kecil). Nyai Khotimah. KH. M. Hasan. Dengan Nyai Ummu Rahma: Nyai Rahma. Dengan Nyai Arbi’ah: KH. Imron. Dengan Nyai Mesi: KH.Badawi. Nyai Asma’. Dari keenam putra-putri itu, hanya empat yang menurunkan keturunan sampai sekarang, yaitu selain KH. M. Hasan dan KH. Badawi. 1. NY. KHOTIMAH BINTI KHOLIL Nyai Khotimah menikah dengan Kiai Muhammad Thoha (kiai Muntaha) bin Kiai Kaffal. Mereka masih sepupu, karena Kiai Muhammad Thoha adalah putra Nyai Maryam (kakak Syekh Kholil). Kalau dari ayah, Kiai Muhammad Thoha pernah keponakan dua pupu kepada Nyai Khotimah. Pasangan Nyai Khotimah dan Kiai Muhammad Thoha memiliki tiga orang putra, yaitu: Kiai Ahmad. Nyai Rahimah. dan Kiai Abdul-Lathif. Namun hanya Kiai Abdul Lathif yang memiliki keturunan. Kiai Abdul Lathif memiliki putra tunggal bernama Kiai Kholili. Kiai Kholili memiliki dua istri, yaitu Nyai Na’imah binti Imron bin Kholil dan Nyai Nafisah binti abdul Karim bin Munawwar bin Kaffal + Nyai Maryam (kakak Syekh Kholil). a. Putra-putra KH. Kholili dengan Nyai Na’imah: Kiai Ahmad Juwaini. Mendirikan “Pesantren Al-Bukhoriyah” di Jhembhuh, bangkalan. Kiai Abdul Mu’thi. Mendirikan “Pesantren Sirojul Kholil” di kampung Dulkariman, Bangkalan. Kiai Abdul Mughni. Mendirikan pesantren di Sukalela Lama, Bangkalan. b. Putra-putri KH. Kholili dengan Nyai Nafisah: Kiai Abdul Lathif. Mendirikan “Madrasah Al-Awwaliyah” di Pasar Kapoh, Bangkalan. Kiai Abdul Kholiq. Mendirikan sebuah Madrasah di kampung Goa, Trahgeh, Bangkalan. Nyai Khotimah (Kramat). Nyai Rosyidah. Menikah dengan Kiai Hifni Thoha, Pesantren Al-Falah, Sumber Gayam, Pamekasan. Kiai Abdul Hamid. Mengasuh Pesantren “Al-Muntaha Al-Kholili” Jangkibuan, pesantren pertama yang didirikan oleh Syekh Kholil. Kiai Thoha. Fatimah Az-Zahra’. Menikah dengan Kiai Abdul Malik Hasyim, Pesantren Al-Ishaqi II, Jhembhuh, Bangkalan. Nyai Rohimah (Bondowoso). Kiai Mujtaba. Kiai Syamsuddin. Kiai Muhammad Hasan Diposkan oleh majelistaklimbizikrillah di 08:16 Label: Manaqib

Sabtu, 09 April 2011

Lir Ilir



Lir-ilir, lir-ilir,tandure wis sumilir
Tak ijo royo-royo tak senggo temanten anyar

Cah angon-cah angon penekno blimbing kuwi

Lunyu-lunyu yo penekno kanggo mbasuh dodotiro
Dodotiro-dodotiro kumitir bedhah ing pinggir
Dondomono jlumatono kanggo sebo mengko sore
Mumpung padhang rembulane mumpung jembar kalangane
Yo surako… surak hiyo…
Sayup-sayup bangun (dari tidur)
Pohon sudah mulai bersemi,
Demikian menghijau bagaikan gairah pengantin baru
Anak penggembala, tolong panjatkan pohon blimbing itu,?
walaupun licin(susah) tetap panjatlah untuk mencuci pakaian
Pakaian-pakaian yang koyak(buruk) disisihkan
Jahitlah, benahilah untuk menghadap nanti sore
Mumpung terang rembulannya
Mumpung banyak waktu luang
Mari bersorak-sorak ayo….


Tembang Lir iLir bukanlah sembarang tembang?tembang ini juga tidak beraliran punk Rock.blues,jaZz atau R’n’b???Namun di dalam tembang ini terdapat banyak makna yg sangat berarti bagi umat Manusia(MusLiM 100%)!!!Lir iLir sendiri di bawakan oleh salah satu WALI SANGA yg ada di tanah Jawa.Yaitu SUNAN KALI JAGA (Raden Mas Syahid).
NEXT..........................................
Apakah makna mendalam dari tembang ini?mari kita coba mengupas maknanya???
Lir-ilir, lir-ilir tembang ini diawalii dengan ilir-ilir yang artinya bangun-bangun atau bisa diartikan hiduplah (karena sejatinya tidur itu mati) bisa juga diartikan sebagai sadarlah. Tetapi yang perlu dikaji lagi, apa yang perlu untuk dibangunkan?Apa yang perlu dihidupkan? hidupnya Apa ? Ruh? kesadaran ? Pikiran? terserah kita yang penting ada sesuatu yang dihidupkan, dan jangan lupa disini ada unsur angin, berarti cara menghidupkannya ada gerak..(kita fikirkan ini)..gerak menghasilkan udara. ini adalah ajakan untuk berdzikir. Dengan berdzikir, maka ada sesuatu yang dihidupkan.
tandure wus sumilir, Tak ijo royo-royo tak senggo temanten anyar. Bait ini mengandung makna kalau sudah berdzikir maka disitu akan didapatkan manfaat yang dapat menghidupkan pohon yang hijau dan indah. Pohon di sini artinya adalah sesuatu yang memiliki banyak manfaat bagi kita. Pengantin baru ada yang mengartikan sebagai Raja-Raja Jawa yang baru memeluk agama Islam. Sedemikian maraknya perkembangan masyarakat untuk masuk ke agama Islam, namun taraf penyerapan dan implementasinya masih level pemula, layaknya penganten baru dalam jenjang kehidupan pernikahannya
Cah angon cah angon penekno blimbing kuwi. Mengapa kok “Cah angon” ? Bukan “Pak lurah” , “Pak Presiden” atau yang lain? Mengapa dipilih “Cah angon” ? Cah angon maksudnya adalah seorang yang mampu membawa makmumnya, seorang yang mampu “menggembalakan” makmumnya dalam jalan yang benar. Lalu,kenapa “Blimbing” ? Ingat sekali lagi, bahwa blimbing berwarna hijau (ciri khas Islam) dan memiliki 5 sisi. Jadi blimbing itu adalah isyarat dari agama Islam, yang dicerminkan dari 5 sisi buah blimbing yang menggambarkan rukun Islam yang merupakan Dasar dari agama Islam. Kenapa “Penekno” ? ini adalah ajakan para wali kepada Raja-Raja tanah Jawa untuk mengambil Islam dan dan mengajak masyarakat untuk mengikuti jejak para Raja itu dalam melaksanakan Islam.


Lunyu lunyu penekno kanggo mbasuh dodotiro. Walaupun dengan bersusah payah, walupun penuh rintangan, tetaplah ambil untuk membersihkan pakaian kita. Yang dimaksud pakaian adalah taqwa. Pakaian taqwa ini yang harus dibersihkan.
Dodotiro dodotiro, kumitir bedah ing pinggir. Pakaian taqwa harus kita bersihkan, yang jelek jelek kita singkirkan, kita tinggalkan, perbaiki, rajutlah hingga menjadi pakain yang indah ”sebaik-baik pakaian adalah pakaian taqwa“.
dondomono jlumatono kanggo sebo mengko sore. Pesan dari para Wali bahwa suatu ketika kamu akan mati dan akan menemui Sang Maha Pencipta untuk mempertanggungjawabkan segala perbuatanmu. Maka benahilah dan sempurnakanlah ke-Islamanmu agar kamu selamat pada hari pertanggungjawaban kelak.
Mumpung padhang rembulane, mumpung jembar kalangane. Para wali mengingatkan agar para penganut Islam melaksanakan hal tersebut ketika pintu hidayah masih terbuka lebar, ketika kesempatan itu masih ada di depan mata, ketika usia masih menempel pada hayat kita.
Yo surako surak hiyo. Sambutlah seruan ini dengan sorak sorai “mari kita terapkan syariat Islam” sebagai tanda kebahagiaan. Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu (Al-Anfal :25).
by@;koeningan_poenya.....

DUNIA PESANTREN




Betapa indahnya dunia pesantren
Dibalik biliknya memancarkan iman
Hilir mudik para santri
Pulang pergi dari pagi sampai sore
Tuk mengaji kitab suci
Mengharap ridho ilahi
Betapa tentramnya hidup di pesantren
Hingar dan bingarnya penuh kedamaian
Tiap hari para santri
Dan kyai berdiskusi hukum syar’i
Mengkaji ilmu agama
Hukum sosial budaya
Duhai gemerlapnya cahaya pesantren
Dalam keheningan terdengar bisikan
Beristighfar, baca qur’an
Bermunajad pada tuhan Maha Rahman
Untuk memohon ampunan
Petunjuk dan perlindungan
Aduhai indahnya
Sangat mengagumkan.

Anaasyidusshafa group
By : Rodotz




KERTAS PUTIH

Kertas putih yang bersih
Sungguh malang nasibmu
Engkau telah dinodai
Oleh tinta warna-warni
Andai engkau bisa bicara
Ikhlaskah dirimu
Diperlakukan seperti itu
Sungguh mulia hatimu
Jika semua itu kau ikhlaskan
Berapa ribu teman yang telah ternodai
Berapa ribu pula orang yang menodai
Tapi janganlah marah
Karena jasamu sangat berguna
Andai kau tidak ada di dunia
Siapa pengganti dirimu
Apakah daun mampu menggantikanmu
Ataukah tulang makhluk hidup


By: Rodotz